Pengalaman ini sudah lama, kejadiannya tahun 2007. Tapi sampai kini, saya masih trauma kalau menyebut, Bandara Soekarno-Hatta. Dan saya wanti-wanti ke majikan saya, kalau pulang jangan melewati bandara besar ini. Tahun lalu, saya pulang melewati Bandung dan nyatanya di sana aman-aman saja, tanpa sembarang perlakuan buruk dan perbedaan pelayanan. Ah, Bandara Soekarno-Hatta, namanya menjadi hantu untuk para tenaga kerja.
Berawal dari sebuah kartu nama…
Awal mendapatkan kartu nama ini, aku sempat juga membuat puisi. Entahlah… Kok rasanya lucu dan menyakitkan saat aku mendapatkannya. Bahkan, saat pertama kali aku mengenal dengan orang ini. Namanya cukup singkat, sebut saja Sujen (bukan nama sebenar) hanya lima huruf khas nama Sunda. Bekerja di Syarikat Rent car, tour and travel di kawasan Bandara Soekarno-Hatta.
Berawal dari kepulanganku ke Indonesia tahun 2007 setelah merantau di Negeri orang. Sebelum pulang, sebetulnya aku sudah cukup khawatir dan takut mengenai pemerasan di Bandara Soekarno-Hatta oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam ketakutan dan kekhawatiran, akhirnya di beli juga tiket pulang pergi dari Kuala Lumpur ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta.
Pun ketika aku bertanya kepada orang-orang yang telah pulang melewatinya. Mereka banyak yang mengaku kecewa dengan birokrasi yang ada di sana. Dalam kebimbangan dan keragu-raguan akhirnya aku pulang juga ke negeri kelahiran Indonesia. Negeri yang selama dua tahun aku tidak menjenguknya, Negri yang selama aku merantau hanya aku dengar ceritanya. Berbagai nasihat dan petua sudah aku daptkan, termasuk nasihat dari seorang isteri pekerja ekspatriat.
Akhirnya, selamatlah aku mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Masih dalam ketakutan, jantung berdetak melebihi biasanya. Aku berusaha serileks mungkin. Dengan gaya baju yang seolah-olah seperti pelajar, siap dengan tas yang melilit di pundak tidak menggambarkan TKW kebanyakan. Nyatanya, aku tetaplah Pahlawan Devisa yang pintu laluannya sudah di sediakan. Terpampang tulisan besar setelah keluar dari pintu imigrasi, “SELAMAT DATANG PAHLAWAN DEVISA.” Sedikit bangga dengan tulisan itu meskipun dalam hati kadang lucu juga, Pahlawan Devisa tak ubahnya seperti Pahlawan Tanda Jasa. Mereka jarang atau bahkan tidak begitu di hiraukan hak-haknya.
Semuanya berjalan lancar, passport sudah di periksa. Aku berjalan ke arah kanan untuk menuju pintu 3 khusus untuk tenaga kerja yang baru pulang. Kemudia diantar dengan Bus menuju ke daerah dan kota asal masing-masing. Di sinilah semuanya bermula, katanya, sewaktu mendaftar bayar tergantung kepada daerah mana mereka akan tuju. Yang lebih menyedihkan ternyata, setelah mereka sampai di tempat tujuan sopir travel meminta lagi bayaran lebih. Ini tidak hanya menimpa para pekerja rumah tangga, para pekerja Pabrik pun mengalaminya. Dan lagi, para pekerja tidak boleh di jemput oleh keluarganya
Malangnya, kakak iparku sudah menunggu di luar. Dalam berpikir, ada seorang petugas yang mendekatiku dan mengajakku berbincang. Petugas ini pake seragam dan aku yakin, dia memang pekerja di Bandara Soekarno-Hatta bukan oknum yang seperti aku gambarkan. Dari beberapa dialog, aku ambil kesimpulan memang keluarga tidak boleh menjemput. Tapi anehnya, dia memanggil seorang lagi yang gayanya seperti Pak Polisi tapi berpakaian biasa.
Di kenalkannyalah aku dengannya. Ngobrol sebentar, kemudian orang tersebut meminta nomor hp kakaku. Aku merasa, ini adalah sebuah sindiket terorganisir dan banyak orang di dalamnya. Terbukti, sudah ada orang lain yang menghubungi kakaku. Aku pun dah syak, kalau mereka akan meminta uang kepada kakaku. Lama aku menunggu terkadang, suaraku agak meninggi ketika berbicara dengan orang oknum tadi. Yang lebih lucu, ketika dia bilang,
“Mbak ini cerewet amat, tujuan kita mau menyelamatkan mbak.”
Aku pun dengan ketus menukas, “Mau menyelamatkan atau menghanyutkan, Mas…?” Mendengar kata-kataku oknum itu sepertinya terkejut dan aku yakin dia marah. Aku sich, cuek aja.
Lama menunggu, akhirnya tibalah aku keluar dari Bandara tanpa melewati pintu 3. Tapi melewati pintu 2 seperti penumpang yang lainnya bukan melewati pintu para TKI dan ini aku harus bayar mahal. Sebelum beredar, oknum tadi mengingatkan, supaya aku jalan lurus saja dan oknum tadi berada jauh di depanku. Aku semakin syak, ini pasti lewat tidak benar bertambahlah kekhawatiranku. Sebelum beredar dari situ, seorang berseragam biru mencegat oknum tadi, membisikan sesuatu. Terjadi negosiasi akhirnya, oknum tadi mengeluarkan dompetnya dan selembar uang di hulurkan kepada orang berseragam biru.
Aku berjalan dengan perasaan takut dan was-was. Oknum tadi berjalan jauh di depan. Tiba-tiba seorang berseragam biru mencegatku. Aku semakin berdebar. Dari jauh, oknum tadi memberi isyarat kepada orang berseragam biru. Kemudian, dibiarkannya aku berlalu tanpa sembarang pertanyaan dan pemeriksaan. Sebelum keluar dari situ, ada dua orang yang menjemputku untuk membawaku ke atas. Dan di depan lift kakaku sudah menunggu. Di bawanya aku terburu-buru. Sebelum menaiki taksi, terjadi lagi adegan salaman yang meberi arti, aku rasa mereka memberikan uang. Aku lihat tukang sapu di Bandara, sepertinya dia sudah faham dengan apa yang berlaku.
Naiklah aku bersama dengan kakakku ke taksi. Sebuah taksi Bandara, cantik mobilnya, APV. Tidak lama kemudian taksi pun bergerak, di sebelah sopir duduk seorang lagi yang aku tidak kenal. Setelah lama berjalan, nyatanya kita hanya di ajak keliling Bandara. Kemudian balik lagi ke tempat semula. Ah, sungguh ironis! Ternyata mereka bekerja sama untuk mengaut uang para TKI yang baru pulang.
Kita saling bertekak, aku marah. Sementara, kakak iparku masih diam. Dia nih emang low profile banget. Kalau mau keluar dari Bandara ini, kita harus bayar Rp.250.000. Waduh, pelik bin ajaib asli mahal banget pikirku. Aku tanya ke kakaku, berapa tadi dia memberikan uang ke oknum tadi. Nyatanya, sudah Rp.700.000 dia berikan kepada oknum tadi. Aku semakin kesal. Untuk meluahkan kekesalan aku, aku pun bertepuk tangan dan berkata,
“Horeee….. Aku kena tipu!” Tak ayal, mereka semakin marah. Dari pada ribut, akhirnya aku memutuskan “Dah, Pak, anterin kita ke Kalideres.”
Akhirnya berjalanlah taksi menuju ke Kalideres. Orang yang duduk di sebelah sopir tadi turun. Masih dengan nada suara yang tinggi dan aku rasa dia marah, Pak sopir bercerita kalau dia tidak tahu apa-apa. Dia hanya tahu bawa saja. Dalam hati, “Aku nggak percaya tuh” Tapi, aku menenangkan diri, mencoba bersabar, siapa tahu dari sini aku bisa mengorek cerita, kemana saja uangku tadi?
Lama kelamaan, Pak sopir itu bersikap biasa. Aku dan kakaku pun ngobrol seperti biasa. Tidak adalagi nada marah dan kecewa. Akhirnya, aku mempunyai celah untuk bertanya tentang cerita di Bandara.
“Pak, aku ikhlasin nggak, yah, uangku yang tadi?”
“Yah, saya mah gngak tahu. Itu mah tergantung Eneng.”
“Uang yang tadi itu, kemana aja yah, Pak?”
“Yah buat mereka-mereka lah, Neng. Kalau di ikutkan, tiap orang nggak dapet banyak. Karena di bagi banyak orang.” Wah, satu ilmu nih, dalam hati aku. Ternyata ini kerja orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Memeras duit orang, tanpa memeras keringat sendiri. Hanya memeras otak, gimana caranya nipu orang. Walah… Moga aja yang mereka makan mendapat keberkahan dari Allah.
“Neng, kalau TKI pulang memang gak bisa di jemput. Meskipun Eneng punya kenalan orang dalam, aturannya tetap begitu. Sejak keputusan Presidan melarang anggota keluarga menjemput TKI.” Pak Sopir berusaha menjelaskan. “Tadi Neng di minta berapa?”
“Tujuh ratus ribu Pak…”
“Itu di kira murah, Neng, kadang ada yang lebih mahal.” Ujarnya. Kasihan amat yah nasib Pahlawan Devisa ini
Mobil terus berjalan menerobos kesesakan lalu lintas. Meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta yang mengoreskan sedikit luka di hati kecilku. Ah, kenapa setelah di Negeri sendiri aku justru harus di tipu? Kenapa di saat memasuki Negara sendiri aku harus mengeluarkan beribu-ribu? Duhai Allah, inilah wajah bangsaku? Di mana wajah dan gambaran sebuah negeri yang loh jinawi? Di mana cerita nenek moyang kita yang sopan antun dan menghargai? Negeriku sudah berwarna-warni. Dicampuri tidak hanya oleh asap polutan dan kekotoran tapi diwarnai juga oleh sifat dan kekotoran manusianya. Ah, akankah ada keberkahan di Negeri ini?
Berbagai soalan bermunculan di benakku. Pak Sopir masih bercerita, katanya pernah juga ada TKW dari Lampung yang menangis sampai terguling-guling di Bandara. Entahlah… aku pun heran dengan para oknum. Mungkin, mereka menyangka para TKW yang baru pulang itu banyak uangnya. Hakikatnya, tidak seperti itu. Ada yang pulang dengan hanya membawa uang beberapa juta saja. Uang mereka sudah di kirimkan tiap bulannya.
Di tengah-tengah perjalanan Pak Sopir menghulurkan kartu namanya. Aku terima aja. Aku simpan, siapa tahu aku ke Bandara lagi. Kalideres semakin dekat, kami pun semakin akrab dengan Pak Sopir. Tapi, kami meminta di turunkan di Kebon Nanas.
Sampailah kami di Kebon nanas. Pak Sopir menepikan mobilnya. Aku memberikan sekeping coklat kepada kakaku, untuk Pak Sopir. Kakaku menghulurkannya ke depan. Pak Sopir begitu berterimakasih. Sementara kakaku turun mencari bus, aku menunggu di dalam mobil. Selesai parkir Pak Sopir berucap,
“Neng, jangan nyangka Bapak nipu, yah. Bapak juga nyari uang untuk keluarga. Bapak mah kerja aja. Gak tahu apa.” Ujarnya. Aku tidak menyangka Pak Sopir akan berkata demikian.
“Iya, Pak, saya Paham.” Sedih dan terharu mendengar kata-katanya. Kalaulah birokrasi di Negara kita berjalan dengan sempurna, tentunya tidak adalagi keragu-raguan dalam bekerja. Aku rasa, Pak Sopir mungkin tidak enak hati dengan apa yang berlaku. Dan aku yakin, dia orang yang baik.
Bus jurusan Merak sudah datang. Aku pun turun dari mobil tak lupa ucapan maaf dan terimakasih aku ucapkan kepada Pak Sopir. Kakaku bersalam dengan Pak Sopir. Kami pun menaiki Bus jurusan Merak. Teringat kata pakar motivasi favoritku, “orang jahat, tidak akan berbuat jahat kepada orang jahat, tentunya dia akan mencari orang baik sebagai korbannya.” Alhamdulilah, Terimakasih Ya Allah… Engkau telah selamatkan aku. Sesungguhnya, dari Engkaulah datangnya semua kebaikan. Dan segala keburukan itu datangnya dari aku, manusia yang lemah.
Ditulis, desember 2008
Anazkia
http://regional.kompasiana.com/2011/12/20/saya-trauma-mendarat-di-bandara-soekarno-hatta/
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen